LPH Hidayatullah

Halal Dulu, Rasa dan Harga Kemudian!

Ilustrasi gaya hidup halal | AI/freepik.com

Beberapa waktu lalu, jagad media sosial ramai dengan pemberitaan salah satu rumah makan bernama Ayam Goreng Widuran di Solo. Viral karena menu ayam gorengnya ternyata selama ini tidak halal, dan baru diketahui oleh masyarakat kemudian diakui kemarin oleh manajemen mereka sendiri disertai dengan permohonan maaf.

Sebelumnya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menemukan produk permen Marshmallow mengandung babi (porcine), padahal sudah mengantongi sertifikat halal.

Kedua kasus ini menarik perhatian publik di seluruh Indonesia, tak terkecuali pemerintah baik pusat maupun daerah yang dibarengi dengan melakukan langkah antisipatif serta responsif. Produk Masrhmallow ditarik dari peredaran, dan menutup sementara seluruh gerai rumah makan Ayam Goreng Widuran.

Perlu diketahui, kedua produk ini termasuk yang banyak diminati oleh para konsumen. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, dan tentu saja di dalamnya masyarakat muslim yang paling dirugikan dari peristiwa ini. Rugi, sebab membeli dan mengonsumsi makanan non halal yang dilarang oleh ajaran agama Islam.

Bila ada faktor kesengajaan, menjual makanan atau minuman tidak halal kepada masyarakat muslim tanpa adanya pemberian informasi yang jelas, maka dapat dikategorikan melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

Bahwa, setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jujur serta benar tentang barang dan atau jasa yang hendak dibelinya, juga mempunyai hak untuk memperoleh keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam menggunakan barang atau jasa.

Kurangnya Literasi Halal

Dua kasus di atas sekadar contoh, boleh jadi masih banyak kasus serupa bahkan lebih parah lagi yang memang belum diketahui oleh pemerintah dan masyarakat, baik disengaja maupun tidak sengaja karena faktor ketidaktahuan tentang regulasi dan ajaran agama.

Harus diakui, lemahnya literasi tentang halal hampir seluruh komponen masyarakat, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, distributor, dan konsumen secara umum turut menjadi faktor utama dalam membangun ekosistem serta upaya penerapan wajib halal 2024.

Dapat dibayangkan, permen Marshmallow yang sudah tercantum logo halal setelah diuji lab ternyata mengandung babi. Boleh jadi, ada tindakan tidak jujur dari pihak-pihak terkait baik saat proses sertifikasi halal, atau setelah mendapatkan sertifikat halal.

Begitu pula dengan Ayam Goreng Widuran, lebih dari 50 tahun lamanya menjual ayam goreng menggunakan minyak babi tanpa memberitahu kepada pelanggannya yang beragam Islam. Ini juga termasuk perilaku tidak jujur dan bertanggung jawab.

Di samping itu pula, masyarakat masih banyak yang belum begitu peduli terhadap kehalalan suatu produk atau jasa. Mau halal atau haram, yang penting rasanya enak dan harganya cukup terjangkau niscaya mereka beli.

Banyak juga masyarakat muslim yang benar-benar tidak tahu tentang apa itu halal dan haram. Padahal ini penting, bukan hanya soal pengamalan ajaran agama Islam tapi untuk memastikan kenyamanan, keamanan serta kesehatan pada tubuh.

Bagian dari Gaya Hidup

Meski mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, nyatanya hingga saat ini halal belum menjadi bagian gaya hidup kita. Banyak masyarakat enggan menjadikan halal sebagai alasan pertama dan utama dalam membeli sekaligus menggunakan barang atau jasa.

Misalnya, saat hendak membeli makanan dan atau minuman di sebuah tempat perbelanjaan, jarang sekali orang memperhatikan logo halal di kemasan atau outletnya, apalagi menanyakan kepada pemilik atau karyawan apakah makanan dan minuman tersebut sudah halal.

Hal demikian terkonfirmasi berdasarkan hasil penelitian Christopher Richie Rahardjo bahwa, kecenderungan seorang konsumen dalam memilih makanan dan minuman adalah rasa, harga, kemasan lalu merek. Adapun halal belum masuk sebagai bahan pertimbangan dalam memilih barang atau makanan.

Tak usah jauh, tengok saja diri kita masing-masing ketika hendak membeli dan mengonsumsi barang atau jasa, apakah kita perhatikan dahulu logo halalnya? Kalau tidak ada, apakah kita urung membeli dan atau menanyakan langsung ke penjaganya, dan ini fenomena yang banyak terjadi di lapangan.

Dalam arti lain, bilamana halal sudah menjadi pertimbangan utama serta pertama seseorang dalam memilih, membeli, mengonsumsi dan atau menggunakan barang dan jasa, disusul kemudian rasa, harga, kemasan lalu merek maka, halal sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia.

Kampanye Halal Digital

Kendatipun literasi halal masih terbilang rendah, lambat laun gaya hidup halal masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan. Beberapa riset menyebutkan tentang meningkatnya industri halal yang diikuti oleh belanja atau konsumsi barang-barang halal masyarakat setiap tahunnya.

Bahkan, beberapa pengamat menyatakan bahwa akan ada perubahan paradigma masyarakat Indonesia secara umum, yakni halal menjadi gaya hidup mayoritas masyarakat di tahun 2035 nanti. Artinya, orang akan menjadikan halal sebagai preferensi utama dalam memilih sekaligus mengonsumsi barang dan atau jasa.

Kabar gembira ini perlu terus dikuatkan supaya ekosistem berikut gaya hidup halal masyarakat dapat segera terwujud. Caranya, dengan senantiasa mengampanyekan pentingnya sertifikasi dan menerapkan gaya hidup halal melalui platform digital.

Sekali lagi, gaya hidup halal bukan hanya milik muslim dan terkait dengan ajaran Islam sahaja, lebih dari itu, halal merupakan gaya hidup masyarakat modern yang harus diterapkan karena di dalamnya terkandung kesehatan, kebersihan, kesejahteraan, kejujuran, keamanan dan lain sebagainya.

Jadi, bila hendak memilih, membeli dan mengonsumsi barang atau jasa, pastikan dahulukan halal, baru kemudian rasa, harga, merek, kemasan, tempat dan seterusnya. Bila sudah seperti ini, berarti kita termasuk orang yang melek halal, menerapkan gaya hidup halal dan berikutnya turut serta mengampanyekan gaya hidup halal melalui platform digital ke seluruh dunia.

Scroll to Top